Balai Kajian Sejarah & Budaya Indonesia atau yang disingkat dengan BAKASBIN adalah sebuah Lembaga Peofessional yang bersifat Independen dan meupakan stake holder yang membidangi Kajian atau Penelitian ( Riset ) Sejarah dan Budaya yang ada di Indonesia.




I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang



Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya mulai tanggal 24 November 2010, membawa konsekuensi hukum dalam penanganan dan pelaksanaan pekerjaan pelestarian terhadap cagar budaya. Sesuai dengan ketentuan umum dalam Pasal 1 angka 13 dan 14, terdapat tenaga profesional yang harus memiliki SERTIFIKAT, yaitu:

·         Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
·         Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.

Peran tenaga profesional yang bersertifikat tersebut jika ditelusur Pasal demi Pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya sangat jelas fungsinya. Tanpa keberadaan tenaga profesional tersebut dapat diartikan pelaksanaan pelestarian cagar budaya belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam proses penyusunan REGISTER NASIONAL yang dimulai dari kegiatan Pendaftaran Cagar Budaya (Pasal 28 dan 29), baik yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, sudah harus melibatkan Tim Ahli Cagar Budaya sejak mulai Pengkajian (Pasal 31 dan 32), Penetapan (Pasal 33, 34, 35, 36), Pemeringkatan (Pasal 41), Evaluasi peringkat (Pasal 47), sampai dengan Penghapusan (Pasal 50).

Selanjutnya dalam KEGIATAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian (Pasal 53 ayat (2)). Dalam hal ini LINGKUP PELESTARIAN Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat maupun di air (Pasal 4). Dalam hal Pemindahan Cagar Budaya (Pasal 59 ayat 2) juga di bawah koordinasi Tenaga Ahli Pelestarian.

Masalah 1:

Sesuai dengan ketentuan di atas, kalau tidak ada Tenaga Ahli Pelestarian yang memiliki kompetensi keahlian dan/atau bersertifikat maka kegiatan pelestarian cagar budaya sesuai ketentuan UU CB tidak dapat dilaksanakan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, semakin memperkuat dasar hukum pelaksanaan pelestarian cagar budaya yang juga sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta Peraturan Bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2009/Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.48/UM.001/MKP/2009 Tentang Pengelolaan Peninggalan Bawah Air, dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.49/UM.001/MKP/2009 Tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs. Hal ini karena kewenangan pelestarian terhadap Cagar Budaya tidak hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat saja tetapi juga menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.49/UM.001/ MKP/2009 Tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs, diuraikan dalam Pasal 12 bahwa aspek-aspek pelestarian dilaksanakan sesuai standar pelayanan minimal yang meliputi perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan.

Perlindungan benda cagar budaya dan situs meliputi aspek-aspek registrasi dan pendaftaran, penetapan, pengamanan, penyelamatan, dan perizinan.
Pemeliharaan benda cagar budaya dan situs meliputi aspek-aspek perawatan dan pemugaran.
Pemanfaatan benda cagar budaya dan situs meliputi aspek-aspek agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Oleh karena kegiatan pelestarian terhadap Cagar Budaya adalah jenis pekerjaan yang spesifik maka tenaga pelaksananya harus memiliki kompetensi, kecakapan, dan keahlian khusus yang dapat diperoleh melalui proses sertifikasi.

Masalah 2:

Bagaimana pelaksanaan kegiatan pelestarian di Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) jika tidak ada Tenaga Ahli Pelestarian yang memiliki kompetensi keahlian dan/atau bersertifikat?

Sejalan dengan semakin kompleksnya tantangan pelestarian terhadap benda cagar budaya dan situs, selain diperlukan berbagai upaya perlindungan dalam bentuk regulasi dan peraturan, tentunya diperlukan adanya standardisasi profesionalisme sumberdaya manusia (SDM), khususnya Tenaga Pelestari, yang memiliki kompetensi untuk menangani aspek-aspek pelestarian dengan kualifikasi dan klasifikasi tertentu untuk menunjang praktik profesinya. Mengingat adanya kebutuhan yang meningkat akan tuntutan profesionalisme dalam kehandalan kinerja pelestarian, maka perlu diberlakukannya Sertifikasi Pelestari Cagar Budaya untuk menghasilkan tenaga-tenaga pelestari Cagar Budaya yang memenuhi kompetensi.

2. Landasan Operasional

a.       Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
b.      Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Bangunan Gedung
c.       Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
d.      Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
e.      Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanan UU Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
f.        Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1995 Tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum.
g.       Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
h.      Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
i.        Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
j.        Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 087/P/1993 Tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.
k.       Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 062/U/1995 Tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya.
l.        Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 063/U/1995 Tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya.
m.    Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 064/U/1995 Tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya.
n.      Peraturan Bersama Menteri Budpar dan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2009 / Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan.
o.      Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.49/UM.001/ MKP/2009 Tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs.
p.       Kode Etik Arkeologi Indonesia, 2005.

II. PRINSIP DAN PROSEDUR SERTIFIKASI

Dalam sertifikasi tenaga pelestari cagar budaya terdapat beberapa pertanyaan mendasar, antara lain menyangkut tujuan sertifikasi, sasaran sertifikasi, siapa yang melakukan sertifikasi, keahlian apa saja yang harus disertifikasi, bagaimana prosedur sertifikasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sangat relevan untuk dijawab karena masalah sertifikasi tenaga pelestarian belum pernah dilakukan di lingkungan pekerjaan pelestarian cagar budaya.

1.    Tujuan Sertifikasi

Tujuan sertifikasi tenaga pelestari tentunya dapat dilihat setidak-tidaknya dari tiga perspektif, yaitu:
a.       Memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, khususnya dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian terhadap Cagar Budaya.
b.      Diperoleh kualitas tenaga-tenaga pelestari yang kompeten dan bersertifikat sesuai dengan bidang keahliannya.
c.       Dengan dipenuhinya amanat Undang-Undang yang didukung oleh tenaga-tenaga pelestari yang kompeten dan bersertifikat diharapkan akan dihasilkan pekerjaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara norma hukum serta norma akademis dan teknis.

2.    Sasaran Sertifikasi

Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan (2) UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dinyatakan bahwa Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif. Oleh karena itu, kegiatan Pelestarian Cagar Budaya HARUS dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.

Selanjutnya dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.
Dari dua ketentuan Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pihak yang dapat memperoleh sertifikasi adalah:
1)      Anggota IAAI.
2)      PNS di lingkungan Instansi Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota).
3)      Swasta yang menangani pekerjaan pelestarian Cagar Budaya.
4)      Masyarakat umum yang berminat terhadap pekerjaan aspek-aspek pelestarian

3.    Pelaksana Sertifikasi

Pelaksana Sertifikasi adalah pihak-pihak yang diberikan wewenang oleh Pemerintah untuk dapat menyelenggarakan proses sertifikasi. Oleh karena sertifikasi ini adalah sertifikasi Tenaga Pelestari Cagar Budaya, maka pihak-pihak yang dapat menyelenggarakan sertifikasi adalah yang memiliki kompetensi di bidang pelestarian Cagar Budaya, misalnya:
·         Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Budpar di tingkat Pemerintah Pusat.
·         Unit Pelaksana Teknis Ditjen Sejarah dan Purbakala yang melaksanakan fungsi pelestarian di tingkat Daerah.
·         Perguruan Tinggi yang memiliki Jurusan Arkeologi (UI, UGM, Udayana, Unhas).
·         Organisasi Profesi (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia).
·         Lembaga/Pihak lain

Tentunya pihak-pihak di atas tidak dapat secara serta merta mendapatkan otoritas menyelenggarakan sertifikasi, namun perlu dikoordinasikan dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 atas amanat UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Badan Nasional Sertifikasi Profesi inilah yang diberikan tugas oleh Pemerintah untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dan dapat memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

Masalah 3:

Apakah Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) yang merupakan organisasi profesi sudah memiliki kesiapan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi sesuai dengan tuntutan UU CB dan peraturan perundangan lainnya?

4.    Jenis Keahlian dan Peringkat

Aspek-aspek pekerjaan di bidang Pelestarian Cagar Budaya sifatnya tidak homogen, tetapi cukup banyak jika dirinci lebih lanjut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Cagar Budaya, lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air. Sesuai dengan kenyataan di lapangan sekarang terdapat tenaga-tenaga teknis pelestarian, misalnya tenaga dokumentasi (fotografi, penggambar, pemeta), tenaga pemugar, tenaga konservator, tenaga perlindungan/pengamanan, dan lain-lain. Masing-masing tenaga teknis tersebut memerlukan keahlian khusus. Demikian juga halnya dengan peringkat kemampuan masing-masing tenaga tentunya berbeda, antara tenaga pelestari yang berpendidikan SLTA dengan tenaga pelestari berpendidikan Perguruan Tinggi.

Dua hal tersebut di atas, yaitu jenis keahlian dan peringkat tentunya perlu didiskusikan secara khusus karena ini menyangkut kemampuan teknis dan akademis yang berimplikasi pada kewajiban dan kewenangannya dalam menjalankan profesinya.
Sebagai gambaran peringkat keahlian, sebenarnya di lingkungan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Budpar sudah terdapat Jabatan Fungsional Pamong Budaya Bidang Kepurbakalaan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2007 Tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pamong Budaya. Perpres ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Aparatur Negara Nomor PER/09/M.PAN/5/2008 Tentang Jabatan Fungsional Pamong Budaya dan Angka Kreditnya. Untuk pelaksanaannya Jabatan Fungsional Pamong Budaya tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Bersama Menteri Budpar dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: BP.37/KP.403/MKP/2010 dan Nomor 11 Tahun 2010 Tanggal 6 April 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya. Namun sayangnya Peraturan Bersama antara Menteri Budpar dan Kepala Badan Kepegawaian Negara tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Aparatur Negara Nomor PER/09/M.PAN/5/ 2008 Tentang Jabatan Fungsional Pamong Budaya dan Angka Kreditnya, Jabatan Fungsional Pamong Budaya di lingkungan Kementerian Budpar dapat digambarkan sebagai berikut:


Jabatan Fungsional Pamong Budaya

Jabatan Fungsional
Jabatan
Golongan/Ruang
Pamong Budaya Ahli:
Bidang Nilai Budaya
Bidang Kesejarahan
Bidang Kesenian
Bidang Permuseuman
Bidang Kepurbakalaan
Bidang Kebahasaan
Pamong Budaya Madya
Pamong Budaya Muda
Pamong Budaya Pertama
IV/a, IV/b, IV/c
III/c, III/d
III/a, III/b
Pamong Budaya Terampil:
Bidang Kesenian
Bidang Permuseuman
Bidang Kepurbakalaan
Pamong Budaya Penyelia
Pamong Budaya Pelaksana Lanjutan
Pamong Budaya Pelaksana
III/c, III/d
III/a, III/b
II/b, II/c, II/d

Sumber:
 Peraturan Menteri Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2008 Tanggal 13 Mei 2008

Masalah 4:

Apakah Jabatan Pamong Budaya Bidang Kepurbakalaan dapat dikategorikan sebagai Tenaga Ahli Pelestarian yang memiliki kompetensi keahlian, sehingga memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan kegiatan pelestarian sesuai ketentuan Pasal 53 ayat 2?

Kalau memang ya maka Masalah 1 dapat terjawab, pegawai di lingkungan Ditjen Sejarah dan Purbakala yang memenuhi syarat dapat diajukan sebagai Pamong Budaya, sehingga dapat melaksanakan kegiatan pelestarian setelah diberlakukan Jabatan Fungsional Pamong Budaya.

5.    Prosedur dan Mekanisme Sertifikasi

Jika masalah-masalah prinsip sudah dapat diputuskan maka prosedur dan mekanisme sertifikasi mulai dapat disusun. Prosedur dan Mekanisme Sertifikasi ini mengatur tata cara, urutan, rangkaian, syarat-syarat teknis dan adminsitrasi setiap orang yang akan mendapatkan sertifikasi sebagai Tenaga Pelestari Cagar Budaya.

Prosedur dan Mekanisme Sertifikasi antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
a)      Setiap orang dapat mengajukan Sertifikasi Tenaga Pelestari sesuai tempat kedudukannya dan melengkapi persyaratan administrasi.
b)      Ujian Sertifikasi dapat dilakukan pada daerah-daerah tempat kedudukan Lembaga/Intansi yang sudah ditunjuk oleh Pemerintah. (-> soal ujian…?)
c)       Surat Tanda Lulus Sertifikat diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala yang berkedudukan di Jakarta. (-> format Surat Tanda Lulus…?)
d)      Sertifikat Tenaga Pelestari terdiri dari tiga tingkatan, yaitu peringkat A (Tingkat Pemula), peringkat B (Tingkat Lanjut), dan peringkat C (Tingkat Ahli).
e)      Seseorang yang memiliki sertifikat dapat dicabut, dibatalkan, atau ditunda kenaikan kelas kategorinya jika melakukan kesalahan dalam melaksanakan norma, standard prosedur dan kriteria (NSPK) yang sudah ditentukan. (-> prosedur pencabutan, pembatalan, penundaan …?)




BAB III. MONITORING DAN EVALUASI

Seseorang yang sudah mendapat sertifikasi dalam melaksanakan pekerjaan profesinya terikat oleh ketentuan Undang-Undang Cagar Budaya, NSPK, dan Kode Etik Arkeologi Indonesia sebagai Kode Etik Profesi. Oleh karena itu Direktorat Peninggalan Purbakala di tingkat Pusat dan BP3 di Daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Sejarah dan Purbakala memiliki tugas dan kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi di wilayah kerja masing-masing terhadap para pihak yang melakukan kegiatan pelestarian cagar budaya. Demikian juga IAAI Komda dan IAAI Pusat sebagai organisasi profesi perlu membentuk Tim Pengawas yang memiliki tugas melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja para pemegang sertifikat dalam melaksanakan tugas-tugas profesinya.

Pengawasan dan evaluasi tersebut bertujuan untuk:
a.       Mengetahui dan memastikan seseorang yang sudah memegang sertifikat sudah melaksanakan tugasnya sesuai profesinya dan tidak terjadi pelanggaran profesi.
b.      Jika ditemukan indikasi pelanggaran profesi maka Tim Pengawas akan melakukan evaluasi. Jika dalam evaluasi ditemukan pelanggaran profesi maka akan diserahkan hasilnya kepada Dewan Kehormatan Kode Etik IAAI (Komda dan Pusat)
c.       Tim Pengawas juga dapat merekomendasikan kepada Ditjen Sejarah dan Purbakala agar pemegang sertifikat dapat naik kategori, penundaan kategori, penurunan kategori, atau pencabutan sertfifikat.

IV. CATATAN AKHIR

Paparan tentang Sertifikasi Tenaga Pelestari Cagar Budaya ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu disarankan lebih lanjut untuk:
a.       Mengadakan diskusi pembahasan antara pihak-pihak terkait untuk membahas lebih lanjut mengenai mekanisme dan prosedur Sertifikasi Tenaga Pelestari Cagar Budaya.
b.      Membentuk perangkat-perangkat yang akan menjalankan mekanisme dan prosedur Sertifikasi Tenaga Pelestari pada setiap tingkatan dan daerah yang memungkinkan dengan memanfaatkan keberadaan UPT Ditjen Sepur, Perguruan Tinggi, serta IAAI Komda dan IAAI Pusat sebagai organisasi profesi.
c.       Mencari terobosan kebijakan untuk menjawab permasalahan-permalasan di atas.




 dengan adanya Tenaga Ahli Daerah maka perlu juga dibentuk Tim Ahli Cagar Budaya Daerah (kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi). dengan Tugas :

1.     Memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya. 

"Rekomendasi Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota". 

"Pemeringkatan dalam bentuk peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota".

"Penghapusan adalah adalah tindakan menghapus (musnah; hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan; mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan keasliannya; atau di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.) status Cagar Budaya dari Register Nasional Cagar Budaya, dengan ketentuan tidak menghilangkan data dalam Register Nasional Cagar Budaya dan dokumen yang menyertainya."

2.     Mengkaji Kelayakan Cagar Budaya yang telah didaftarkan sebagai Cagar Budaya (dengan parameter identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis). Selama Proses pengkajian dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya. Hal ini berlaku juga untuk Koleksi Museum yang didaftarkan oleh kurator dan diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya. setelahmendapat rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya Daerah, Kepala Daerah (Gubenur/Wali-kota/Bupati, maksimal dalam 30 (Tiga Puluh) hari mengeluarkan Status Penetapan (Surat Ketetapan) Cagar Budaya .

Tim Ahli Cagar Budaya Daerah ditetapkan dengan Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi; dan Keputusan Bupati/Wali Kota untuk tingkat kabupaten/kota. didalam pelaksanaan tugasnya Tim Ahli Cagar Budaya yang sudah ditetapkan dapat dibantu oleh unit pelaksana teknis (BPCB: Balai Pelestarian Cagar Budaya) atau satuan kerja perangkat daerah (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) yang bertanggung jawab di bidang Cagar Budaya.