Balai Kajian Sejarah & Budaya Indonesia atau yang disingkat dengan
BAKASBIN adalah sebuah Lembaga Peofessional yang bersifat Independen dan
meupakan stake holder yang membidangi Kajian atau Penelitian ( Riset )
Sejarah dan Budaya yang ada di Indonesia.
Sumber: Peraturan Menteri Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2008 Tanggal 13 Mei 2008
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1. Latar Belakang
Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya mulai
tanggal 24 November 2010, membawa konsekuensi hukum dalam penanganan dan
pelaksanaan pekerjaan pelestarian terhadap cagar budaya. Sesuai dengan
ketentuan umum dalam Pasal 1 angka 13 dan 14, terdapat tenaga profesional yang
harus memiliki SERTIFIKAT, yaitu:
·
Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli
pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk
memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
·
Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena
kompetensi keahlian khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang
Pelindungan, Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya.
Peran tenaga
profesional yang bersertifikat tersebut jika ditelusur Pasal demi Pasal dalam
UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya sangat jelas fungsinya. Tanpa
keberadaan tenaga profesional tersebut dapat diartikan pelaksanaan pelestarian
cagar budaya belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam proses
penyusunan REGISTER NASIONAL yang dimulai dari kegiatan Pendaftaran Cagar
Budaya (Pasal 28 dan 29), baik yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, sudah harus melibatkan
Tim Ahli Cagar Budaya sejak mulai Pengkajian (Pasal 31 dan 32), Penetapan
(Pasal 33, 34, 35, 36), Pemeringkatan (Pasal 41), Evaluasi peringkat (Pasal
47), sampai dengan Penghapusan (Pasal 50).
Selanjutnya dalam KEGIATAN
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga
Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian (Pasal 53 ayat (2)).
Dalam hal ini LINGKUP PELESTARIAN Cagar Budaya meliputi Pelindungan,
Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat maupun di air (Pasal 4).
Dalam hal Pemindahan Cagar Budaya (Pasal 59 ayat 2) juga di bawah koordinasi
Tenaga Ahli Pelestarian.
Masalah 1:
Sesuai dengan
ketentuan di atas, kalau tidak ada Tenaga Ahli Pelestarian yang memiliki kompetensi
keahlian dan/atau bersertifikat maka kegiatan pelestarian cagar budaya sesuai
ketentuan UU CB tidak dapat dilaksanakan.
Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, semakin memperkuat
dasar hukum pelaksanaan pelestarian cagar budaya yang juga sudah diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
Peraturan Bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata bersama Menteri Dalam
Negeri Nomor 42 Tahun 2009/Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian
Benda Cagar Budaya dan Situs, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.48/UM.001/MKP/2009 Tentang Pengelolaan Peninggalan Bawah Air, dan Peraturan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.49/UM.001/MKP/2009 Tentang Pedoman
Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs. Hal ini karena kewenangan pelestarian
terhadap Cagar Budaya tidak hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat saja
tetapi juga menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Dalam Peraturan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.49/UM.001/ MKP/2009 Tentang Pedoman
Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs, diuraikan dalam Pasal 12 bahwa
aspek-aspek pelestarian dilaksanakan sesuai standar pelayanan minimal yang
meliputi perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan.
Perlindungan benda
cagar budaya dan situs meliputi aspek-aspek registrasi dan pendaftaran,
penetapan, pengamanan, penyelamatan, dan perizinan.
Pemeliharaan benda
cagar budaya dan situs meliputi aspek-aspek perawatan dan pemugaran.
Pemanfaatan benda
cagar budaya dan situs meliputi aspek-aspek agama, sosial, pariwisata,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Oleh karena kegiatan
pelestarian terhadap Cagar Budaya adalah jenis pekerjaan yang spesifik maka
tenaga pelaksananya harus memiliki kompetensi, kecakapan, dan keahlian khusus
yang dapat diperoleh melalui proses sertifikasi.
Masalah 2:
Bagaimana pelaksanaan
kegiatan pelestarian di Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) jika tidak ada Tenaga
Ahli Pelestarian yang memiliki kompetensi keahlian dan/atau bersertifikat?
Sejalan dengan semakin
kompleksnya tantangan pelestarian terhadap benda cagar budaya dan situs, selain
diperlukan berbagai upaya perlindungan dalam bentuk regulasi dan peraturan,
tentunya diperlukan adanya standardisasi profesionalisme sumberdaya manusia
(SDM), khususnya Tenaga Pelestari, yang memiliki kompetensi untuk menangani
aspek-aspek pelestarian dengan kualifikasi dan klasifikasi tertentu untuk
menunjang praktik profesinya. Mengingat adanya kebutuhan yang meningkat akan
tuntutan profesionalisme dalam kehandalan kinerja pelestarian, maka perlu
diberlakukannya Sertifikasi Pelestari Cagar Budaya untuk menghasilkan
tenaga-tenaga pelestari Cagar Budaya yang memenuhi kompetensi.
2. Landasan Operasional
a. Undang-Undang
RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
b. Undang-Undang
RI Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Bangunan Gedung
c. Undang-Undang
RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
d. Undang-Undang
RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
e. Peraturan
Pemerintah RI Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanan UU Nomor 5 Tahun 1992
Tentang Benda Cagar Budaya.
f.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1995
Tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum.
g. Peraturan
Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
h. Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
i.
Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005
Tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
j.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan
Nomor 087/P/1993 Tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.
k. Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 062/U/1995 Tentang Pemilikan,
Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya.
l.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan
Nomor 063/U/1995 Tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya.
m. Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 064/U/1995 Tentang Penelitian dan Penetapan
Benda Cagar Budaya.
n. Peraturan
Bersama Menteri Budpar dan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2009 / Nomor 40
Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan.
o. Peraturan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.49/UM.001/ MKP/2009 Tentang Pedoman
Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs.
p. Kode Etik Arkeologi Indonesia, 2005.
II. PRINSIP DAN PROSEDUR SERTIFIKASI
Dalam sertifikasi
tenaga pelestari cagar budaya terdapat beberapa pertanyaan mendasar, antara
lain menyangkut tujuan sertifikasi, sasaran sertifikasi, siapa yang melakukan
sertifikasi, keahlian apa saja yang harus disertifikasi, bagaimana prosedur
sertifikasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sangat relevan untuk
dijawab karena masalah sertifikasi tenaga pelestarian belum pernah dilakukan di
lingkungan pekerjaan pelestarian cagar budaya.
1.
Tujuan Sertifikasi
Tujuan sertifikasi
tenaga pelestari tentunya dapat dilihat setidak-tidaknya dari tiga perspektif,
yaitu:
a. Memenuhi
amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, khususnya dalam
pelaksanaan kegiatan pelestarian terhadap Cagar Budaya.
b. Diperoleh
kualitas tenaga-tenaga pelestari yang kompeten dan bersertifikat sesuai dengan
bidang keahliannya.
c. Dengan
dipenuhinya amanat Undang-Undang yang didukung oleh tenaga-tenaga pelestari
yang kompeten dan bersertifikat diharapkan akan dihasilkan pekerjaan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara norma hukum serta norma akademis dan teknis.
2.
Sasaran Sertifikasi
Sesuai ketentuan Pasal
53 ayat (1) dan (2) UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dinyatakan
bahwa Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif. Oleh
karena itu, kegiatan Pelestarian Cagar Budaya HARUS dilaksanakan atau
dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika
pelestarian.
Selanjutnya dalam
Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis
dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya
Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.
Dari dua ketentuan
Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pihak yang dapat memperoleh sertifikasi
adalah:
1)
Anggota IAAI.
2)
PNS di lingkungan Instansi Pemerintah (Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota).
3)
Swasta yang menangani pekerjaan pelestarian
Cagar Budaya.
4)
Masyarakat umum yang berminat terhadap pekerjaan
aspek-aspek pelestarian
3.
Pelaksana Sertifikasi
Pelaksana Sertifikasi
adalah pihak-pihak yang diberikan wewenang oleh Pemerintah untuk dapat
menyelenggarakan proses sertifikasi. Oleh karena sertifikasi ini adalah
sertifikasi Tenaga Pelestari Cagar Budaya, maka pihak-pihak yang dapat
menyelenggarakan sertifikasi adalah yang memiliki kompetensi di bidang pelestarian
Cagar Budaya, misalnya:
·
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,
Kementerian Budpar di tingkat Pemerintah Pusat.
·
Unit Pelaksana Teknis Ditjen Sejarah dan
Purbakala yang melaksanakan fungsi pelestarian di tingkat Daerah.
·
Perguruan Tinggi yang memiliki Jurusan Arkeologi
(UI, UGM, Udayana, Unhas).
·
Organisasi Profesi (Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia).
·
Lembaga/Pihak lain
Tentunya pihak-pihak
di atas tidak dapat secara serta merta mendapatkan otoritas menyelenggarakan
sertifikasi, namun perlu dikoordinasikan dengan Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2004 atas amanat UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Badan Nasional
Sertifikasi Profesi inilah yang diberikan tugas oleh Pemerintah untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dan dapat memberikan lisensi kepada
lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.
Masalah 3:
Apakah Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia (IAAI) yang merupakan organisasi profesi sudah memiliki
kesiapan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi sesuai dengan tuntutan UU CB
dan peraturan perundangan lainnya?
4.
Jenis Keahlian dan Peringkat
Aspek-aspek pekerjaan
di bidang Pelestarian Cagar Budaya sifatnya tidak homogen, tetapi cukup banyak
jika dirinci lebih lanjut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Cagar
Budaya, lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan,
Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air. Sesuai dengan kenyataan di
lapangan sekarang terdapat tenaga-tenaga teknis pelestarian, misalnya tenaga
dokumentasi (fotografi, penggambar, pemeta), tenaga pemugar, tenaga
konservator, tenaga perlindungan/pengamanan, dan lain-lain. Masing-masing
tenaga teknis tersebut memerlukan keahlian khusus. Demikian juga halnya dengan
peringkat kemampuan masing-masing tenaga tentunya berbeda, antara tenaga
pelestari yang berpendidikan SLTA dengan tenaga pelestari berpendidikan Perguruan
Tinggi.
Dua hal tersebut di
atas, yaitu jenis keahlian dan peringkat tentunya perlu didiskusikan secara
khusus karena ini menyangkut kemampuan teknis dan akademis yang berimplikasi
pada kewajiban dan kewenangannya dalam menjalankan profesinya.
Sebagai gambaran
peringkat keahlian, sebenarnya di lingkungan Direktorat Jenderal Sejarah dan
Purbakala Kementerian Budpar sudah terdapat Jabatan Fungsional Pamong Budaya
Bidang Kepurbakalaan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2007 Tentang
Tunjangan Jabatan Fungsional Pamong Budaya. Perpres ini selanjutnya
ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Aparatur Negara Nomor
PER/09/M.PAN/5/2008 Tentang Jabatan Fungsional Pamong Budaya dan Angka
Kreditnya. Untuk pelaksanaannya Jabatan Fungsional Pamong Budaya tersebut
selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Bersama Menteri Budpar dan Kepala
Badan Kepegawaian Negara Nomor: BP.37/KP.403/MKP/2010 dan Nomor 11 Tahun 2010
Tanggal 6 April 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional dan Angka
Kreditnya. Namun sayangnya Peraturan Bersama antara Menteri Budpar dan Kepala
Badan Kepegawaian Negara tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan
Peraturan Menteri Negara Aparatur Negara Nomor PER/09/M.PAN/5/ 2008 Tentang
Jabatan Fungsional Pamong Budaya dan Angka Kreditnya, Jabatan Fungsional Pamong
Budaya di lingkungan Kementerian Budpar dapat digambarkan sebagai berikut:
Jabatan Fungsional
Pamong Budaya
Jabatan Fungsional
|
Jabatan
|
Golongan/Ruang
|
Pamong Budaya Ahli:
Bidang Nilai Budaya Bidang Kesejarahan Bidang Kesenian Bidang Permuseuman Bidang Kepurbakalaan Bidang Kebahasaan |
Pamong Budaya Madya
Pamong Budaya Muda
Pamong Budaya Pertama
|
IV/a,
IV/b, IV/c
III/c,
III/d
III/a,
III/b
|
Pamong Budaya Terampil:
Bidang Kesenian Bidang Permuseuman Bidang Kepurbakalaan |
Pamong Budaya Penyelia
Pamong Budaya Pelaksana Lanjutan
Pamong Budaya Pelaksana
|
III/c, III/d
III/a, III/b
II/b, II/c, II/d
|
Sumber: Peraturan Menteri Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2008 Tanggal 13 Mei 2008
Masalah 4:
Apakah Jabatan Pamong
Budaya Bidang Kepurbakalaan dapat dikategorikan sebagai Tenaga Ahli Pelestarian
yang memiliki kompetensi keahlian, sehingga memenuhi syarat untuk dapat
melaksanakan kegiatan pelestarian sesuai ketentuan Pasal 53 ayat 2?
Kalau memang ya maka
Masalah 1 dapat terjawab, pegawai di lingkungan Ditjen Sejarah dan Purbakala
yang memenuhi syarat dapat diajukan sebagai Pamong Budaya, sehingga dapat
melaksanakan kegiatan pelestarian setelah diberlakukan Jabatan Fungsional
Pamong Budaya.
5.
Prosedur dan Mekanisme Sertifikasi
Jika masalah-masalah
prinsip sudah dapat diputuskan maka prosedur dan mekanisme sertifikasi mulai
dapat disusun. Prosedur dan Mekanisme Sertifikasi ini mengatur tata cara,
urutan, rangkaian, syarat-syarat teknis dan adminsitrasi setiap orang yang akan
mendapatkan sertifikasi sebagai Tenaga Pelestari Cagar Budaya.
Prosedur dan Mekanisme
Sertifikasi antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
a) Setiap
orang dapat mengajukan Sertifikasi Tenaga Pelestari sesuai tempat kedudukannya
dan melengkapi persyaratan administrasi.
b) Ujian
Sertifikasi dapat dilakukan pada daerah-daerah tempat kedudukan Lembaga/Intansi
yang sudah ditunjuk oleh Pemerintah. (-> soal ujian…?)
c) Surat
Tanda Lulus Sertifikat diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala
yang berkedudukan di Jakarta. (-> format Surat Tanda Lulus…?)
d) Sertifikat
Tenaga Pelestari terdiri dari tiga tingkatan, yaitu peringkat A (Tingkat
Pemula), peringkat B (Tingkat Lanjut), dan peringkat C (Tingkat Ahli).
e) Seseorang
yang memiliki sertifikat dapat dicabut, dibatalkan, atau ditunda kenaikan kelas
kategorinya jika melakukan kesalahan dalam melaksanakan norma, standard
prosedur dan kriteria (NSPK) yang sudah ditentukan. (-> prosedur pencabutan,
pembatalan, penundaan …?)
BAB III. MONITORING DAN EVALUASI
Seseorang yang sudah
mendapat sertifikasi dalam melaksanakan pekerjaan profesinya terikat oleh
ketentuan Undang-Undang Cagar Budaya, NSPK, dan Kode Etik Arkeologi Indonesia
sebagai Kode Etik Profesi. Oleh karena itu Direktorat Peninggalan Purbakala di
tingkat Pusat dan BP3 di Daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen
Sejarah dan Purbakala memiliki tugas dan kewenangan melakukan monitoring dan
evaluasi di wilayah kerja masing-masing terhadap para pihak yang melakukan
kegiatan pelestarian cagar budaya. Demikian juga IAAI Komda dan IAAI Pusat
sebagai organisasi profesi perlu membentuk Tim Pengawas yang memiliki tugas
melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja para pemegang sertifikat
dalam melaksanakan tugas-tugas profesinya.
Pengawasan dan evaluasi
tersebut bertujuan untuk:
a. Mengetahui
dan memastikan seseorang yang sudah memegang sertifikat sudah melaksanakan
tugasnya sesuai profesinya dan tidak terjadi pelanggaran profesi.
b. Jika
ditemukan indikasi pelanggaran profesi maka Tim Pengawas akan melakukan
evaluasi. Jika dalam evaluasi ditemukan pelanggaran profesi maka akan
diserahkan hasilnya kepada Dewan Kehormatan Kode Etik IAAI (Komda dan Pusat)
c. Tim
Pengawas juga dapat merekomendasikan kepada Ditjen Sejarah dan Purbakala agar
pemegang sertifikat dapat naik kategori, penundaan kategori, penurunan
kategori, atau pencabutan sertfifikat.
IV. CATATAN AKHIR
Paparan tentang
Sertifikasi Tenaga Pelestari Cagar Budaya ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu disarankan lebih lanjut untuk:
a. Mengadakan
diskusi pembahasan antara pihak-pihak terkait untuk membahas lebih lanjut
mengenai mekanisme dan prosedur Sertifikasi Tenaga Pelestari Cagar Budaya.
b. Membentuk
perangkat-perangkat yang akan menjalankan mekanisme dan prosedur Sertifikasi Tenaga
Pelestari pada setiap tingkatan dan daerah yang memungkinkan dengan
memanfaatkan keberadaan UPT Ditjen Sepur, Perguruan Tinggi, serta IAAI Komda
dan IAAI Pusat sebagai organisasi profesi.
c. Mencari
terobosan kebijakan untuk menjawab permasalahan-permalasan di atas.
dengan adanya Tenaga Ahli Daerah maka perlu juga dibentuk Tim
Ahli Cagar Budaya Daerah (kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu
yang memiliki sertifikat kompetensi). dengan
Tugas :
1.
Memberikan rekomendasi penetapan,
pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
"Rekomendasi Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota".
"Pemeringkatan dalam bentuk peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota".
"Penghapusan adalah adalah tindakan menghapus (musnah; hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan; mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan keasliannya; atau di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.) status Cagar Budaya dari Register Nasional Cagar Budaya, dengan ketentuan tidak menghilangkan data dalam Register Nasional Cagar Budaya dan dokumen yang menyertainya."
"Rekomendasi Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota".
"Pemeringkatan dalam bentuk peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota".
"Penghapusan adalah adalah tindakan menghapus (musnah; hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan; mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan keasliannya; atau di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.) status Cagar Budaya dari Register Nasional Cagar Budaya, dengan ketentuan tidak menghilangkan data dalam Register Nasional Cagar Budaya dan dokumen yang menyertainya."
2.
Mengkaji Kelayakan Cagar Budaya yang telah
didaftarkan sebagai Cagar Budaya (dengan parameter identifikasi dan klasifikasi
terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis). Selama
Proses pengkajian dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya. Hal ini
berlaku juga untuk Koleksi Museum yang didaftarkan oleh kurator dan diserahkan
kepada Tim Ahli Cagar Budaya. setelahmendapat rekomendasi dari Tim Ahli Cagar
Budaya Daerah, Kepala Daerah (Gubenur/Wali-kota/Bupati, maksimal dalam 30 (Tiga
Puluh) hari mengeluarkan Status Penetapan (Surat Ketetapan) Cagar Budaya .
Tim Ahli Cagar Budaya Daerah ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur untuk tingkat provinsi; dan Keputusan Bupati/Wali Kota untuk tingkat
kabupaten/kota. didalam pelaksanaan tugasnya Tim Ahli Cagar Budaya yang sudah
ditetapkan dapat dibantu oleh unit pelaksana teknis (BPCB: Balai Pelestarian
Cagar Budaya) atau satuan kerja perangkat daerah (Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan) yang bertanggung jawab di bidang Cagar Budaya.